Zaenab Al Ghazali mempelopori gerakan perempuan di Timur pada periode yang paling sulit dalam sejarah modern, dimana penantang Islam beramai-ramai mengepung Islam dari semua arah, dengan dukungan pemerintahan otoriter yang dipegang oleh junta militer yang diktator yang sangat kejam dan membuat hati miris serta menggetarkan jiwa.
Tindakan yang diambil terhadap para aktivis Islam hanya berdasarkan
pada dugaan, memperlakukan para Muslim yang taat dengan tekanan berat,
menghukum gantung para pemikir Muslim dan pemimpin gerakan Islam,
memasukkan orang-orang yang memiliki ghirah agama ke dalam sel-sel
penjara yang gelap dan pengap. Banyak keluarga dideportasi secara
sistematis, banyak anak-anak menjadi yatim dan membuat mereka
kelaparan.
Penguasa juga menyebar para pembunuh ke berbagai tempat
sasaran, menghalalkan harta dan darah kehormatan untuk membungkam setiap
suara yang menyuarakan kembali kepada iman, dan menjadikan Al Qur’an
dan undang-undang hidup bermasyarakat.
Dalam suasana menyedihkan ini, Zainab Al gfhazali masuk ke dalam
jantung konflik untuk melakukan perlawanan bersama para mujahid
menghadapi kezaliman dan kaki tangan para penguasa Mesir (Fara’inah).
Kemudian peristiwa demi peristiwa terjadi begitu cepatpada tahun 1948
dan dikeluarkan Surat Keputusan yang membubarkan gerakan al Ikhwan al
Muslimun yang menyita seluruh asetnya, menutup kantor-kantornya , serta
menjebloskan ribuan aktifisnya ke dalam sel-sel penjara. Maka al Akhwat
al Muslimat bergerak dalam al Ikhwan al Muslimun dengan kegiatan yang
patut mereka syukuri.
Salah seorang di antara para akhwat aktifis ini
adalah Sayyidah Tahiyah Al Jubalili , istri saudariku dan putri pamanku
sendiri. Dari dialah aku mengetahui banyak hal lebih dalam dan untuk
pertama kalinya aku mulai merasakan adanya kerinduan untuk mengkaji
gagasan-gagasan al Ustad Hasan Al Banna serta kegigihannya
mengkonsolidasikan gerakan Islam secara keseluruhan..Kemudian aku
berkomunikasi dengan al Ustadz Al Mursyid it (Hasan Al Banna ) dan
mengirim surat singkat dimana aku mengatakan :
“Tuanku
Imam Hasan Al Banna, Zainab Al Ghazali datang kehadapanmu dalam keadaan
lepas dari segala sesuatu selain mengabdi kepada Allah dan menghambakan
dirinya untuk berdakwah kepada Allah.
Sementara engkau saat ini adalah
adalah manusia satu-satunya yang mampu menjual umur ini dengan harga
yang diridhai oleh Allah di jalan dakwah dan menanti perintah dan
instruksimu, Tuanku..”
Aku bertemu dengan ustadz Hasan Al Banna dan menyatakan kepadanya,’
Aku memberi bai’at—sumpah setia kepadamu untuk bekerja demi berdirinya
negara Islam dan pengorbananku. Untuk mencapai itu pengorbanan paling
sederhana yang dapat aku persembahkan adalah darahku dan juga para ibu
muslimah lain dengan kesiapan mereka. Ustadz Hasan Al Banna menjawab
seraya berkata,’ Aku terima bai’at engkau ,” Maka sekarang tetaplah para
wanita anggota Sayyidat al Muslimat seperti sedia kala. Tidak lama
setalah pertemuan itu , Imam Hasan Al Banna dibunuh, dan para aktifis al
Ikhwanul Muslimun tetap berada dalam penjara hingga larangan organisasi
al Ikhwan al Muslimun dicabut kembali.
Rangkaian
peristiwa terjadi dan yang paling besar adalah peristiwa tahun 1954,
dimana al Ikhwan al Muslimun kembali dibubarkan. Para pemimpin dan
pemikir serta tokoh-tokoh Islam berkaliber dunia kembali ditangkap
seperti Ir. Abdul Qadir Al Qaudah , seorang ulama kenamaan Al Azhar
Muhammad Farghali bersama saudara-saudaranya. Seorang mujahid besar ,
Imam Hasan Al Hudaibi yang tetap tidak divonis hukum mati tetapi tidak
terlaksana.
Sebab secara mendadak ia mengalami serangan jantung,
kemudian ia dibawa pulang ke rumah. Setelah diperiksa dokter mengatakan
bahwa ia hanya dpat bertahan hidup beberapa selama beberapa jam
kedepan. Mendengar keadaan kesehatannya demikian, Penguasa militer
Mesir, Gamal Abdul Nashir segera muncul dan mengeluarkan keputusan
pemberian amnesti kepadanya dengan harapan bahwa kearifannya itu akan
dimuat dalam media masapada pagi hari berikutnya.
Akan tetapi Allah
berkehendak lain, dengan mempermalukan permainan kotor penguasa tersebut
karena ternyata Hasan Al Hudaibi masih terus hidup.
Zainab Al Ghazali dan banyak perempuan lainnya mengurus keluarga
orang-orang yang dipenjarakan dan ditawan. Mereka hidup tanpa kepala
rumah tangga sementara penguasa mengisolasi mereka secara sistematis
agar tidak ada bantuan yang sampai kepada mereka dari siapapun.
Akibatnya kelaparan dan kesulitan hidup dikhawatirkan akan memaksa
mereka melakukan perbuatan menyimpang. Oleh karena itu Zainab bersama
banyak perempuan lainnya berusaha sekuat tenaga memberi pertolongan
kepada mereka.
Rencana Busuk dari Penguasa
Gamal Abdul Nashir merencanakan pembunuhan terhadap diri Zainab pada
awal bulan Februari 164, yaitu pada peristiwa kecelakaan yang
direncanakan. Para pelakunya melarikan diri sementara Zainab dilarikan
ke rumah sakit dalam keadaan kritis.
Namun Allah masih menyelamatkan
nyawanya. Namun tidak lama kemudian ia dituduh melakukan tindakan makar
dan ditangkap pada tahun 1965. Ia disiksa dan dipaksa untuk mengatakan
kebohongan dan tunduk pada keinginan penguasa untuk menghujat gerakan
Islam dan meninggalkan dunia dakwah.
Namun tekanan berat dibawah
siksaan berat yang dialami tetap tidak menggoyahkan keyakinannya
sehingga tetap menolak rekayasa yang ditawarkan. Penyiksaan lebih kejam
pun kembali di alami dengan perlakuan yang tidak akan tahan diterima
oleh orang-orang biasa .
Tetapi kali ini ia pun mampu bersabar bersama
teman-temannya yang sama-sama menyeru kepada Islam. Setiap kali
penyiksaan terhadap mereka ditambah, bertambah pula kesabaran dan
ketabahan mereka seraya terus mengucapkan firman Allah ..
“ Katakanlah ; “ Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah oleh Allah bagi kami ..’ (QS At Taubah; 51).
Pengalamannya yang penuh kegetiran namun berharga itu ia tuangkan dalam tulisan ia beri judul “Hari-hari dari Hidupku” (Ayyam min Hayati).
Ia menguraikan peristiwa yang ia alami bersama teman-teman pejuang
lainnya, peristiwa yang tidak dapat dibayangkan dengan akal, atau tidak
terbetik sekalipun dalam benak setan..
Kemudian ia dijatuhi hukuman
kerja paksa berkepanjangan. Sedangkan temannya, Hamidah Quthub dihukum
sepuluh tahun penjara. Para wanita lainnya dijatuhi hukuman beragam.
Inilah praktik kriminal yang dilakukan negara terhadap dilakukan
penjajah manapun atau pasukan agresor selama masa pendudukan dan
kediktatoran.
Zainab keluar dari penjara dan meneruskan perjuangannya di jalan
Allah sesuai dengan kemampuannya hingga ajal menjemputnya. Sejarah
telah mencatat bahwa ia adalah perempuan paling tangguh dibanding wanita
lain yang berkecimpung dalam dunia dakwah dan politik di zaman modern
ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar