Siapakah Abu Nawas ? Tokoh Yang Dianggap Badut Namun Juga Dianggap
Ulama Besar Ini-Sufi,Tokoh Super Lucu Yang Tiada Bandingnya Inin Aslinya
Orang Persia Yang Di Lahirkan Pada Tahun 750 M Di Ahwaz Meninggal Pada
Tahun 819 M Dibaghdad. Setelah Dewasa Ia Mangembara Ke Bashra Dan Kufa.
Disana Ia Belajar Bahasa Arab Dan Bergaul Rapat Sekali Dengan
Orang-Orang Badui Padang Pasir. Karena Pergaulannya Itu Ia Mahir Bahasa
Arab Da Adat Istiadat Dan Kegemaran Orang Arab. Ia Juga Pandai Bersyair,
Berpantun,Dan Menyanyi.Ia Sempat Pulang Ke Negerinya, Namun Pergi Lagi
Ke Baghdad Bersama Ayah Nya, Keduanya Menghambakan Diri Kepada Sultan
Harun Al Rasyid Raja Baghdad.
Mari Kita Mulai Kisah Penggeli Hati Ini. Bapaknya Abu Nawas Adalah
Penghulu Kerajaan Baghdad Bernama Maulana. Pada Suatu Hari Bapaknya Abu
Nawas Yang Sudah Tua Itu Sakit Parah Dan Akhirnya Meninggal Dunia.
Abu Nawas Dipanggil Ke Istana.Ia Diperintah Sultan (Raja) Untuk
Mengubur Jenazah Bapaknya Itu Sebagaimana Adat Syeikh Maulana. Apa Yang
Dilakukan Abu Nawas Hampir Tiada Bedanya Dengan Kadi Maulana Baik
Mengenai Tatacara Memandikan Jenazah Hingga Mengkafani, Menyalati Dan
Mendo’akannya. Maka Sultan Bermaksud Mengangkat Abu Nawas Menjadi Kadi
Atau Penghulumenggantikan Kedudukan Bapaknya.
Namun….Karna Mendegar Rencana Sang Sultan. Tiba-Tiba Saja Abu Nawas Yang Cerdas Itu Nampak Berubah Menjadi Gila.
Usai Upacara Pemakaman Bapaknya. Abu Nawas Mengambil Sepotong Batang
Pisang Dan Di Perlakukan Seperti Kuda, Ia Menunggang Kuda Dari Batang
Pisang Sambil Berlari- Laridari Kuburan Bapaknya Menuju Rumahnya. Orang
Yang Melihat Menjadi Terheran- Heran Dibuatnya.
Pada Hari Yang Lain Ia Mengajak Anak – Anak Kecil Dalam Jumlah Yang
Cukup Banyak Untuk Pergi Ke Makam Bapaknya. Dan Di Atas Makam Bapaknya
Itu Ia Mengajak Anak-Anak Bermain Rebana Dan Bersuka Cita.
Kini Semua Orang Semakin Heran Atas Kelakuan Abu Nawas Itu,Mereka
Mengaaggap Abu Nawas Sudah Menjadi Gila Karena Ditinggal Mati Oleh
Bapaknya.
Pada Suatu Hari Ada Beberapa Orang Utusan Dari Sultan Agung Al Rasyid Datang Menemui Abu Nawas .
‘’Hai Abu Nawas Kau Dipanggil Sultan Untuk Menghadap Ke Istana.’’ Kata Wazir Utusan Sultan.
‘’Buat Apa Sultan Memanggilku,Aku Tidak Ada Keperluan Denganya.’’Jawab Abu Nawas Dengan Enteng Seperti Tanpa Beban.
‘’Hai Abu Nawas Kau Tidak Boleh Berkata Seperti Itu Kepada Rajamu.’’
‘’Hai Wazir, Kau Jangan Banyak Cakap. Cepat Ambil Kudaku Ini Dan
Mandikan Di Sungai Supaya Bersih Dan Segar.’’Kata Abu Nawas Sambil
Menyodorkan Sebatang Pohon Pisang Yang Dijadikanya Kuda-Kudaan.
Si Wazir Hanya Geleng- Geleng Kepala Melihat Kelakuan Abu Nawas.
‘’Abu Nawas Kau Mau Apa Tidak Menghadap Sultan?’’Kata Wazir.
‘’ Katakan Kepada Rajamu,Aku Sudah Tahu Maka Aku Tidak Mau.’’Kata Abu Nawas.
“ Apa Maksudnya Abu Nawas?” Tanya Wasir Dengan Rasa Penasaran.
“ Sudah Pergi Sana, Bilang Begitu Pada Rajamu.”
Sergap Abu Nawas Sembari Menyaruk Debu Dan Dilempar Ke Arah Si Wasir Dan Teman-Temannya.
Si Wasir Segera Menyingkir Dari Halaman Rumah Abu Nawas. Mereka
Laporkan Keadaan Abu Nawas Yang Tak Waras Itu Kepada Sultan Harun Al
Rasyid.
Dengan Geram Sultan Berkata,” Kalian Bodoh Semua ” , Hanya
Menghadapkan Abu Nawas Kemari Saja Tak Becus ! Ayo Pergi Kesana Bawa Dia
Kemari Dengan Sukarela Ataupun Terpaksa.”
Si Wasir Segera Mengajak Beberapa Prajurit Istana. Dan Dengan Paksa Abu Nawas Pun Di Hadirkan Di Hadapan Raja.
“ Abu Nawas Bersikaplah Sopan! “ Tegur Baginda.
“ Ya Baginda, Tahukah Anda……?”
“ Baginda…… Terasi Itu Asalnya Dari Udang !”
“ Kurang Ajar Kau Menghinaku Nawas !”
“ Tidak Baginda! Siapa Bilang Udang Berasal Dari Terasi?”
Baginda Merasa Dilecehkan, Ia Naik Pitam Dan Segera Memberi Perintah Kepada Para Pengawalnya.
“ Hajar Dia ! Pukuli Dia Sebanyak Dua Puluh Lima Kali.”
Wah-Wah! Abu Nawas Yang Kurus Kering Itu Akhirnya Lemas Tak Berdaya Dipukuli Tentara Yang Bertubuh Kekar.
Usai Dipukuli Abu Nawas Disuruh Keluar Istana. Ketika Sampai Di Pintu Gerbang Kota, Ia Dicegat Oleh Penjara.
“ Hai Abu Nawas! Tempo Hari Ketika Kau Hendak Masuk Ke Kota Ini Kita
Telah Mengadakan Perjanjian. Masak Kau Lupa Pada Janjimu Itu? Jika
Engkau Diberi Hadiah Oleh Baginda Maka Engkau Berkata: Aku Bagi Dua;
Engkau Satu Bagian, Aku Satu Bagian. Nah, Sekarang Mana Bagianku Itu?”
“Hai Penjara Pintu Gerbang, Apakah Kau Benar-Benar Menginginkan Hadiah Baginda Yang Diberikan Ku Tadi?”
“Iya, Tentu Itu Kan Sudah Merupakan Perjanjian Kita?”
“Baik, Aku Berikan Semuanya, Bukan Hanya Satu Bagian!”
“Wah Ternyata Kau Baik Hati Abu Nawas. Memang Harusnya Begitu, Kau Kan Sudah Sering Menerima Hadiah Dari Baginda.”
Tanpa Banyak Cakap Lagi Abu Nawas Mengambil Sebatang Kayu Yang Agak
Besar Lalu Orang Itu Dipukulinya Sebanyak Dua Puluh Lima Kali. Tentu
Saja Orang Itu Menjerit-Jerit Kesakitan Dan Menganggap Abu Nawas Telah
Menjadi Gila.
Setelah Penunggu Gerbang Kota Itu Klenger Abu Nawas Meninggalkannya Begitu Saja, Ia Terus Melangkah Pulang Ke Rumahnya.
Sementara Itu Si Penjaga Pintu Gerbang Mengadukan Nasibnya Kepada Sultan Harun Al Rasyid.
“Ya, Tuanku Syah Alam, Ampun Beribu Ampun. Hamba Datang Kemari
Mengadukan Abu Nawas Yang Telah Memukul Hamba Sebanyak Dua Puluh Lima
Kali Tanpa Suata Kesalahan. Hamba Mohon Keadilan Dari Tuanku Baginda.
Baginda Segera Memerintahkan Pengawal Untuk Memanggil Abu Nawas.
Setelah Abu Nawas Berada Di Hadapan Baginda Ia Ditanya.”Hai Abu Nawas!
Benarkah Kau Telah Memukuli Penunggu Pintu Gerbang Kota Ini Sebanyak Dua
Puluh Lima Kali Pukulan?”
Berkata Abu Nawas,”Ampun Tuanku, Hamba Melakukannya Karena Sudah Sepatutnya Dia Menerima Pukulan Itu.”
“Apa Maksudmu ? Coba Kau Jelaskan Sebab Musababnya Kau Memukuli Orang Itu?” Tanya Baginda.
“Benar Tuanku,”Jawab Penunggu Pintu Gerbang.”Tapi……Hamba Tiada Mengira Jika Baginda Memberikan Hadiah Pukulan.”
“Hahahahaha…….!Dasar Tukang Peras, Sekarang Kena Batunya Kau!”Sahut
Baginda.”Abu Nawas Tiada Bersalah, Bahkan Sekarang Aku Tahu Bahwa
Penjaga Pintu Gerbang Kota Baghdad Adalah Orang Yang Suka Narget, Suka
Memeras Orang! Kalau Kau Tidak Merubah Kelakuan Burukmu Itu Sungguh Aku
Akan Memecat Dan Menghukum Kamu!”
“Ampun Tuanku.”Sahut Penjaga Pintu Gerbang Dengan Gemetar.
Abu Nawas Berkata,”Tuanku, Hamba Sudah Lelah, Sudah Mau Istirahat,
Tiba-Tiba Diwajibkan Hadir Di Tempat Ini, Padahal Hamba Tiada Bersalah.
Hamba Mohon Ganti Rugi. Sebab Jatah Waktu Istirahat Hamba Sudah Hilang
Karena Panggilan Tuanku. Padahal Besok Hamba Harus Mencari Nafkah Untuk
Keluarga Hamba.”
Sejenak Banginda Melengak, Terkejut Atas Protes Abu Nawas, Namun
Tiba-Tiba Ia Tertawa Terbahak-Bahak,”Hahahaha………Jangan Kuatir Abu
Nawas.”
Baginda Kemudian Memerintahkan Bendahara Kerajaan Memberikan
Sekantong Uang Perak Kepada Abu Nawas. Abu Nawas Pun Pulang Dengan Hati
Gembira.
Tetapi Sampai Di Rumahnya Abu Nawas Masih Bersikap Aneh Dan Bahkan Semakin Nyentrik Seperti Orang Gila Sungguhan.
Pada Suatu Hari Raja Harun Al Rasyid Mengadakan Rapat Dengan Para Mentrinya.
“Apa Pendapat Kalian Mengenai Abu Nawas Yang Hendak Kuangkat Sebagai Kadi?”
Wasir Atau Perdana Mentri Berkata,”Melihat Keadaan Abu Nawas Yang
Semakin Parah Otaknya Maka Sebaiknya Tuanku Mengangkat Orang Lain Saja
Menjadi Kadi.”
Mentri-Mentri Yang Lain Juga Mengutarakan Pendapat Yang Sama.
“Tuanku, Abu Nawas Sudah Menjadi Gila Karena Itu Dia Tak Layak Menjadi Kadi.”
“Baiklah, Kita Tunggu Dulu Sampai Dua Puluh Satu Hari, Karena
Bapaknya Baru Saja Mati. Jika Tidak Sembuh-Sembuh Juga Bolehlah Kita
Mencari Kadi Yang Lain Saja.”
Setelah Lewat Sebulan Abu Nawas Masih Dianggap Gila, Maka Sultan
Harun Al Rasyid Mengangkat Orang Lain Menjadi Kadi Kerajaan Baghdad.
Konon Dalam Suatu Pertemuan Besar Ada Seseorang Bernama Polan Yang
Sejak Lama Berambisi Menjadi Kadi. Ia Mempengaruhi Orang-Orang Di
Sekitar Banginda Untuk Menyetujui Jika Ia Diangkat Menjadi Kadi, Maka
Tatkala Ia Mengajukan Dirinya Menjadi Kadi Kepada Baginda Maka Dengan
Mudah Baginda Menyetujuinya.
Begitu Mendengar Kabar Polan Diangkat Menjadi Kadi Maka Abu Nawas
Mengucapkan Syukur Kepada Tuhan.”Alhamdulillah……..Aku Telah Terlepas
Dari Balak Yang Mengerikan. Tapi……Sayang Sekali Kenapa Harus Polan Yang
Menjadi Kadi, Kenapa Tidak Yang Lain Saja.”
Mengapa Abu Nawas Bersikap Seperti Orang Gila? Ceritanya Begini:
Pada Suatu Hari Ketika Ayahnya Sakit Parah Dan Hendak Meninggal Dunia
Ia Panggil Abu Nawas Untuk Menghadap. Abu Nawas Pun Datang Mendapati
Bapaknya Yang Sudah Lemah Lunglai.
Berkata Bapaknya,”Hai Anakku, Aku Sudah Hampir Mati. Sekarang Ciumlah Telinga Kanan Dan Telinga Kiriku.”
Abu Nawas Segera Menuruti Permintaan Terakhir Bapaknya. Ia Cium
Telinga Kanan Bapaknya, Ternyata Berbau Harum, Sedangkan Yang Sebelah
Kiri Berbau Sangat Busuk.
“Bagaimana Anakku ? Sudah Kau Cium?”
“Benar Bapak!”
“Ceritakan Dengan Sejujurnya, Baunya Kedua Telingaku Ini.”
“Aduh Pak, Sungguh Mengherankan, Telinga Bapak Yang Sebelah Kanan
Berbau Harum Sekali. Tapi…. Yang Sebelah Kiri Kok Baunya Amat Busuk?”
“Hai Anakku Abu Nawas, Taukah Apa Sebabnya Bisa Terjadi Begini ?”
“Wahai Bapakku, Cobalah Ceritakan Kepada Anakmu Ini.”
Berkata Syeikh Maulana.”Pada Suatu Hari Datang Dua Orang Mengadukan
Masalahnya Kepadaku. Yang Seorang Aku Dengarkan Keluhannya. Tapi Yang
Seorang Lagi Kerena Aku Tak Suka Maka Aku Tak Dengar Pengaduannya.
Inilah Resiko Menjadi Kadi (Penghulu ). Jika Kelak Kau Suka Menjadi Kadi
Makakau Akan Mengalami Hal Yang Sama, Namun Jika Kau Tidak Suka Menjadi
Kadi Maka Buatlah Alas An Yang Masuk Akal Agar Tidak Terpilih Sebagai
Kadi Oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi Tak Bisa Tidak Sultan Harun Al
Rasyid Pastilah Tetap Memiliihmu Sebagai Kadi.”
Nah, Itulah Sebabnya Abu Nawas Pura-Pura Menjadi Gila. Hanya Untuk
Menghindarkan Diri Agar Tidak Diangkat Menjadi Kadi, Seorang Kadi Atau
Penghulu Pada Masa Itu Kedudukannya Seperti Hakim Yang Memutus Suatu
Perkara. Walaupun Abu Nawas Tidak Menjadi Kadi Namun Dia Sering Diajak
Konsultasi Oleh Sang Raja Untuk Memutus Suatu Perkara. Bahkan Ia Kerap
Kali Dipaksa Datang Ke Istana Hanya Sekedar Untuk Menjawab Pertanyaan
Baginda Raja Yang Aneh-Aneh Dan Tidak Masuk Akal.
Sabtu, 07 Januari 2017
KISAH ABU NAWAS LICIK DI BALAS LICIK
Pada suatu sore ketika Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya, ada
dua orang tamu datang ke rumahnya. yang seorang adalah wanita tua
penjual kahwa, sedang satunya lagi adalah seorang pemuda berkebangsaan
Mesir.
Wanita tua itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan dengan si pemuda mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka Abu Nawas menyuruh murid-muridnya menutup kitab mereka.
“Sekarang pulanglah kalian. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada malam hari ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta batu.”
Murid murid Abu Nawas merasa heran, namun mereka begitu patuh kepada Abu Nawas. Dan mereka merasa yakin gurunya selalu berada membuat kejutan dan berada di pihak yang benar.
Pada malam harinya mereka datang ke rumah Abu Nawas dengan membawa peralatan yang diminta oleh Abu Nawas.
Berkata Abu Nawas, “Hai kalian semua, pergilah malam hari ini untuk merusak rumah Tuan Kadi yang baru jadi.”
“Hah, merusak rumah Tuan Kadi?”, gumam murid-muridnya keheranan.
“Apa? Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini. Barang siapa yang mencegahmu, jangan kau pedulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Kadi yang baru. Siapa yang bertanya, katakan saja aku yang menyuruh. Barang siapa yang hendak melempar kalian maka pukullah mereka dan lemparilah batu..,” kata Abu Nawas menghapus keraguan murid-muridnya.
Habis berkata demikian, murid-murid Abu Nawas bergerak ke arah rumah Tuan Kadi. Laksana demonstran mereka berteriak-teriak menghancurkan rumah Tuan Kadi.
Orang-orang kampung merasa heran melihat kelakuan mereka. Lebih-lebih ketika tanpa basa-basi lagi mereka langsung merusak rumah tersebut. Orang-orang kampung itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah murid-murid Abu nawas terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani mencegah.
Melihat banyak orang merusak rumahnya, Tuan Kadi segera keluar dan bertanya,”Siapa yang menyuruh kalian menghancurkan rumahku?”
Murid-murid itu menjawab,”Guru kami Tuan Abu Nawas yang menyuruh kami.”
Habis menjawab begitu mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan rumah Tuan Kadi hingga rumah itu roboh dan rata dengan tanah.
Tuan Kadi hanya bisa marah-marah karena tidak ada orang yang berani membelanya.
“Dasar Abu Nawas provokator, Orang gila… Besok pagi aku akan melaporkannya kepada Baginda.”
Benar, esok harinya Tuan Kadi mengadukan kejadian semalam sehingga Abu Nawas dipanggil menghadap baginda.
Setelah Abu Nawas menghadap baginda, ia ditanya, “Hai Abu Nawas, apa sebabnya engkau merusak rumah Tuan Kadi.”
“Wahai Tuanku, sebabnya ialah pada suatu malam hamba bermimpi, bahwasanya Tuan Kadi menyuruh hamba merusak rumahnya. Sebab rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus lagi. Ya, karena mimpi itu maka hamba merusaknya.” jawab Abu Nawas.
Baginda berkata, “Hai Abu Nawas, bolehkan hanya karena mimpi sebuah perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?”
Dengan tenang Abu Nawas menjawab, “Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi yang baru ini Tuanku”.
Mendengar perkataan Abu Nawas, seketika wajah Tuah Kadi menjadi pucat. Ia terdiam seribu basa.
“Hai Kadi, benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?”, tanya Baginda.
Tuan Kadi tidak menjawab, tubuhnya gemetar karena takut.
“Abu Nawas, jangan membuatku pusing. Jelaskan mengapa ada peristiwa ini,” perintah baginda.
“Baiklah…Baginda, Beberapa hari yang lalu ada seorang pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang sambil membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi kawin dengan anak Tuan Kadi dengan mahar sekian banyak. Ini hanya mimpi Baginda. Tetapi Tuan Kadi yang mendengar kabar itu langsung mendatangi si pemuda Mesir dan meminta mahar anaknya. Tentu saja pemuda mesir itu tidak mau membayar mahar hanya karena mimpi. Tetapi Tuan Kadi bersikeras dan merampas semua harta benda milik pemuda mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan akhirnya ditolong oleh wanita tua penjual kahwa.”
Baginda terkejut mendengar penuturan Abu Nawas, tapi masih belum percaya sepenuhnya, maka ia memerintahkan Abu Nawas agar memanggil si Pemuda Mesir. Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Abu Nawas menunggu di depan istana, jadi mudah saja bagi Abu Nawas memanggil pemuda itu ke hadapan Baginda.
Berkata Baginda Raja,”Hai anak Mesir, ceritakanlah hal ikhwal dirimu sejak engkau datang ke negeri ini.”
Ternyata cerita pemuda Mesir itu sesuai dengan cerita Abu Nawas. Bahkan pemuda itu juga membawa saksi yang Pak Tua pemilik tempat penginapan dimana dia menginap.
“Kurang ajar, ternyata aku telah mengangkat seorang Kadi yang bejat moralnya.”
Baginda sangat murka. Kadi yang baru itu dipecat dan seluruh harta bendanya dirampaas dan diberikan kepada si Pemuda Mesir.
Setelah perkara selesai, pulanglah si pemuda Mesir dan Abu nawas ke rumah Abu Nawas. Pemuda Mesir itu hendak membalas kebaikan Abu Nawas.
“Jangan engkau berikan barang sesuatupun kepada ku. Aku tidak akan menerimanya sedikitpun juga.” jawab Abu Nawas.
Pemuda mesir itu sangat mengagumi Abu Nawas. Ketika ia kembali ke negeri Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Abu nawas itu kepada penduduk Mesir sehingga nama Abu Nawas menjadi sangat terkenal.
Wanita tua itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan dengan si pemuda mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka Abu Nawas menyuruh murid-muridnya menutup kitab mereka.
“Sekarang pulanglah kalian. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada malam hari ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta batu.”
Murid murid Abu Nawas merasa heran, namun mereka begitu patuh kepada Abu Nawas. Dan mereka merasa yakin gurunya selalu berada membuat kejutan dan berada di pihak yang benar.
Pada malam harinya mereka datang ke rumah Abu Nawas dengan membawa peralatan yang diminta oleh Abu Nawas.
Berkata Abu Nawas, “Hai kalian semua, pergilah malam hari ini untuk merusak rumah Tuan Kadi yang baru jadi.”
“Hah, merusak rumah Tuan Kadi?”, gumam murid-muridnya keheranan.
“Apa? Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini. Barang siapa yang mencegahmu, jangan kau pedulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Kadi yang baru. Siapa yang bertanya, katakan saja aku yang menyuruh. Barang siapa yang hendak melempar kalian maka pukullah mereka dan lemparilah batu..,” kata Abu Nawas menghapus keraguan murid-muridnya.
Habis berkata demikian, murid-murid Abu Nawas bergerak ke arah rumah Tuan Kadi. Laksana demonstran mereka berteriak-teriak menghancurkan rumah Tuan Kadi.
Orang-orang kampung merasa heran melihat kelakuan mereka. Lebih-lebih ketika tanpa basa-basi lagi mereka langsung merusak rumah tersebut. Orang-orang kampung itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah murid-murid Abu nawas terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani mencegah.
Melihat banyak orang merusak rumahnya, Tuan Kadi segera keluar dan bertanya,”Siapa yang menyuruh kalian menghancurkan rumahku?”
Murid-murid itu menjawab,”Guru kami Tuan Abu Nawas yang menyuruh kami.”
Habis menjawab begitu mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan rumah Tuan Kadi hingga rumah itu roboh dan rata dengan tanah.
Tuan Kadi hanya bisa marah-marah karena tidak ada orang yang berani membelanya.
“Dasar Abu Nawas provokator, Orang gila… Besok pagi aku akan melaporkannya kepada Baginda.”
Benar, esok harinya Tuan Kadi mengadukan kejadian semalam sehingga Abu Nawas dipanggil menghadap baginda.
Setelah Abu Nawas menghadap baginda, ia ditanya, “Hai Abu Nawas, apa sebabnya engkau merusak rumah Tuan Kadi.”
“Wahai Tuanku, sebabnya ialah pada suatu malam hamba bermimpi, bahwasanya Tuan Kadi menyuruh hamba merusak rumahnya. Sebab rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus lagi. Ya, karena mimpi itu maka hamba merusaknya.” jawab Abu Nawas.
Baginda berkata, “Hai Abu Nawas, bolehkan hanya karena mimpi sebuah perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?”
Dengan tenang Abu Nawas menjawab, “Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi yang baru ini Tuanku”.
Mendengar perkataan Abu Nawas, seketika wajah Tuah Kadi menjadi pucat. Ia terdiam seribu basa.
“Hai Kadi, benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?”, tanya Baginda.
Tuan Kadi tidak menjawab, tubuhnya gemetar karena takut.
“Abu Nawas, jangan membuatku pusing. Jelaskan mengapa ada peristiwa ini,” perintah baginda.
“Baiklah…Baginda, Beberapa hari yang lalu ada seorang pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang sambil membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi kawin dengan anak Tuan Kadi dengan mahar sekian banyak. Ini hanya mimpi Baginda. Tetapi Tuan Kadi yang mendengar kabar itu langsung mendatangi si pemuda Mesir dan meminta mahar anaknya. Tentu saja pemuda mesir itu tidak mau membayar mahar hanya karena mimpi. Tetapi Tuan Kadi bersikeras dan merampas semua harta benda milik pemuda mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan akhirnya ditolong oleh wanita tua penjual kahwa.”
Baginda terkejut mendengar penuturan Abu Nawas, tapi masih belum percaya sepenuhnya, maka ia memerintahkan Abu Nawas agar memanggil si Pemuda Mesir. Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Abu Nawas menunggu di depan istana, jadi mudah saja bagi Abu Nawas memanggil pemuda itu ke hadapan Baginda.
Berkata Baginda Raja,”Hai anak Mesir, ceritakanlah hal ikhwal dirimu sejak engkau datang ke negeri ini.”
Ternyata cerita pemuda Mesir itu sesuai dengan cerita Abu Nawas. Bahkan pemuda itu juga membawa saksi yang Pak Tua pemilik tempat penginapan dimana dia menginap.
“Kurang ajar, ternyata aku telah mengangkat seorang Kadi yang bejat moralnya.”
Baginda sangat murka. Kadi yang baru itu dipecat dan seluruh harta bendanya dirampaas dan diberikan kepada si Pemuda Mesir.
Setelah perkara selesai, pulanglah si pemuda Mesir dan Abu nawas ke rumah Abu Nawas. Pemuda Mesir itu hendak membalas kebaikan Abu Nawas.
“Jangan engkau berikan barang sesuatupun kepada ku. Aku tidak akan menerimanya sedikitpun juga.” jawab Abu Nawas.
Pemuda mesir itu sangat mengagumi Abu Nawas. Ketika ia kembali ke negeri Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Abu nawas itu kepada penduduk Mesir sehingga nama Abu Nawas menjadi sangat terkenal.
KISAH ABU NAWAS DIUSIR AKIBAT MIMPI BURUK RAJA
Mimpi buruk yang dialami Baginda Raja Harun Al Rasyid tadi malam
menyebabkan Abu Nawas diusir dari negeri Baghdad. Abu Nawas tidak
berdaya. Bagaimanapun ia harus segera menyingkir meninggalkan negeri
Baghdad hanya karena mimpi. Masih jelas terngiang-ngiang kata-kata
Baginda Raja di telinga Abu Nawas.
“Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. Ia mengenakan jubah putih. Ia berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana bila orang yang bernama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. Ia harus diusir dari negeri ini, sebab, orang itu membawa kesialan. Ia boleh kembali kenegerinya dengan syarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak, melompat-lompat dan menunggangi keledai atau binatang tunggangan yang lain.”
Sudah dua hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang dibawanya mulai menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya dengan kesedihan yang terlalu mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa bertambah yakin bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menolong keluar dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada seorang teman pun yang lebih baik daripada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu?
Setelah beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang. Ia mulai diserang rasa rindu yang menyayat-nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin lama makin menderu-deru seperti dinginnya es. Sulit untuk dibendung. Memang, tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpikir. Tetapi dengan akal apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas dalam hati. Apakah aku akan meminta bantuan orang lain dengan cara menggendongku dari negeri ini sampai ke istana Baginda? Tidak! Tidak akan ada seorang pun yang sanggup melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain.
Pada hari kesembilan belas, Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak termasuk larangan Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, Abu Nawas berangkat menuju ke negerinya sendiri. Perasaan rindu dan senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ini melecut-lecut semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat dengan kampung halaman.
Mengetahui Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira. Desas-desus tentang kembalinya Abu Nawas segera menyebar secepat bau semerbak bunga yang menyerbu hidung.
Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda juga merasa gembira mendengar berita itu, tetapi dengan alasan yang sama sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas tidak akan bisa mengelak dari hukuman.
Mula-mula Baginda kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas pulang ke negerinya. Baginda sama sekali tidak pernah membayangkan kalau Abu Nawas ternyata masih punya seribu akal untuk mengatasi masalah.
Abu Nawas memang pulang dengan keledai. Tapi ia tidak menaiki keledai itu. Ia malah bergelayut di bawah perut keledai. Sehingga Abu Nawas terlepas dari sanksi hukuman yang akan dijatuhkan. Dengan cara ini ia tidak melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak mengendarai keledai.
Baginda yang tadinya marah dan kecewa, kini berubah menjadi tertawa terpingkal-pingkal.
“Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. Ia mengenakan jubah putih. Ia berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana bila orang yang bernama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. Ia harus diusir dari negeri ini, sebab, orang itu membawa kesialan. Ia boleh kembali kenegerinya dengan syarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak, melompat-lompat dan menunggangi keledai atau binatang tunggangan yang lain.”
Sudah dua hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang dibawanya mulai menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya dengan kesedihan yang terlalu mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa bertambah yakin bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menolong keluar dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada seorang teman pun yang lebih baik daripada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu?
Setelah beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang. Ia mulai diserang rasa rindu yang menyayat-nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin lama makin menderu-deru seperti dinginnya es. Sulit untuk dibendung. Memang, tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpikir. Tetapi dengan akal apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas dalam hati. Apakah aku akan meminta bantuan orang lain dengan cara menggendongku dari negeri ini sampai ke istana Baginda? Tidak! Tidak akan ada seorang pun yang sanggup melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain.
Pada hari kesembilan belas, Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak termasuk larangan Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, Abu Nawas berangkat menuju ke negerinya sendiri. Perasaan rindu dan senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ini melecut-lecut semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat dengan kampung halaman.
Mengetahui Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira. Desas-desus tentang kembalinya Abu Nawas segera menyebar secepat bau semerbak bunga yang menyerbu hidung.
Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda juga merasa gembira mendengar berita itu, tetapi dengan alasan yang sama sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas tidak akan bisa mengelak dari hukuman.
Mula-mula Baginda kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas pulang ke negerinya. Baginda sama sekali tidak pernah membayangkan kalau Abu Nawas ternyata masih punya seribu akal untuk mengatasi masalah.
Abu Nawas memang pulang dengan keledai. Tapi ia tidak menaiki keledai itu. Ia malah bergelayut di bawah perut keledai. Sehingga Abu Nawas terlepas dari sanksi hukuman yang akan dijatuhkan. Dengan cara ini ia tidak melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak mengendarai keledai.
Baginda yang tadinya marah dan kecewa, kini berubah menjadi tertawa terpingkal-pingkal.
Langganan:
Postingan (Atom)